Media Sosial Jadi Faktor Gen Z

Media sosial disebut jadi aspek penting penyebab generasi Z dan generasi milenial menderita gangguan kebugaran mental paling banyak dibanding generasi lain.

Dalam laman Universitas Alberta, ada pengakuan bahwa 35% mahasiswa bakal mengalami serangan panik dikarenakan stres terhadap pas tertentu. Penasihat kebugaran mental di kampus juga mengatakan permohonan perlindungan untuk kekhawatiran dan depresi meningkat tajam.

Ada sebuah tesis yang menulis bahwa Gen Z dan milenial lebih dimanjakan oleh orang tua mereka, diizinkan untuk menjauhkan tanggung jawab dan kemandirian yang menumbuhkan sebuah ketahanan mental.

Akan tetapi, sosiolog Universitas Alberta, Lisa Strohschein, mengatakan bahwa kaum muda memang punyai era yang lebih sulit daripada generasi sebelumnya, khususnya di dalam perihal prospek pekerjaan.

“Generasi milenial mengalami Resesi Hebat terhadap th. 2008, [hingga] pada akhirnya perlu mengambil alih pekerjaan yang tidak mengarah ke mana pun, dan itu konsisten berlanjut hingga hari ini…. Jika kalian punyai pekerjaan buntu, [kalian] tentu stress,”

Generasi milenial akhir dan Gen Z juga menunda banyak tonggak kedewasaan generasi sebelumnya. “Mereka tidak punyai rumah, mereka tidak menjalin hubungan, mereka tidak menikah. Mereka tinggal di area bawah tanah rumah orang tua mereka. Ada beragam macam perihal yang telah menggagalkan usaha mereka untuk maju,”

“Generasi ini secara keseluruhan juga yang paling terdidik yang dulu ada, namun jalan menuju suksesnya juga tidak cukup jelas.”

Sifat pekerjaan itu sendiri juga lebih menegangkan dan kompetitif, sebabkan kaum muda hanya punyai sedikit pas luang, kata Sheena Abar-Iyamu, koordinator pekerjaan sosial penduduk di Student Services Universitas Alberta.Di pas yang sama, generasi milenial dan Gen Z jauh lebih sadar bakal masalah kebugaran mental dan lebih mampu mengartikulasikannya daripada orang tua mereka, kata Sarah Flower, manajer promosi kebugaran untuk Layanan Sumber Daya Manusia Universitas Alberta.

Akan tetapi, stigma selalu ada. Menurut studi dari Mind Share Partners, kaum muda bisa saja lebih sadar bakal apa yang memang tengah mereka alami, namun enggan membicarakannya di tempat kerja.

Sementara tantangan era dewasa bisa saja lebih besar pas ini, Flower menduga penurunan ketahanan mental juga mampu berkontribusi terhadap peningkatan tingkat kekhawatiran di kalangan anak muda dengan mengikuti agency tiktok.

 

Pada generasi yang lebih tua, sangat sadar ada “pemenang dan pecundang”. Sekarang, kami tidak mengizinkan banyak kompetisi.

“Kami tidak menyukai kegagalan, namun kegagalan adalah tidak benar satu aset terbesar yang mampu kami pelajari. Kegagalan mengajarkan kami untuk bangkit dan tidak sebabkan kekeliruan yang sama untuk ke dua kali,” ujar Flower

Para siswa era kini juga condong mundur apalagi dari kritik yang membangun. Untuk alasan apa pun, baik generasi milenial dan Gen Z lambat untuk merangkul kedewasaan bersama dengan antusias, bersama dengan bersama dengan kemandirian yang dulunya menarik bagi para remaja.

“Dewasa” pas ini telah jadi kata kerja, seolah-olah seseorang punyai pilihan di dalam perihal ini. Contohnya, mengemudi. Semakin banyak anak muda yang tidak punyai SIM akhir-akhir ini dikarenakan mereka jadi biasa diantar oleh orang tua mereka.

Akan tetapi, seperti biasanya generalisasi, ada kontradiksi di dalam profil generasi. Generasi milenial condong beranggap terbuka, sadar lingkungan, punyai keyakinan bahwa mereka mampu sebabkan perbedaan positif di dunia, dan suka melacak pengalaman baru.

Selanjutnya, menurut Jean Twenge, seorang profesor psikologi di San Diego State University, media sosial jadi aspek penting lainnya yang mempengaruhi kekhawatiran yang melanda Gen Z.

Dalam sebuah artikel di The Atlantic yang berjudul “Have Smartphones Destroyed a Generation?”, ia berpendapat bahwa smartphone telah secara radikal membuat perubahan karakter hubungan sosial, dan akibatnya kebugaran mental.

Memperhatikan bahwa tingkat depresi dan bunuh diri remaja telah meroket sejak th. 2011, ia mengklaim bahwa tidak berlebihan untuk melukiskan iGen (istilah alternatif untuk Gen Z) sebagai generasi yang berada di ambang krisis kebugaran mental terburuk di dalam sebagian dekade. Sebagian besar kerusakan ini mampu ditelusuri dari ponsel mereka.

“Remaja iGen punyai lebih banyak pas luang daripada remaja Gen X, bukan kurang,” tulisnya. “Jadi apa yang mereka lakukan bersama dengan semua pas itu? Mereka berinteraksi lewat telepon, di kamar, sendirian, dan lama kelamaan tertekan.”

Sebuah survei dari National Institute on Drug Abuse juga perlihatkan bahwa remaja yang menggunakan lebih banyak pas untuk beraktivitas di media sosial, sekitar empat jam di AS dan tiga jam di Kanada, condong untuk tidak bahagia.

(Para kaum muda) jauh lebih membuka bersama dengan orang-orang di luar Kanada dan lingkungan lokal mereka sendiri, atau membuka secara virtual,” kata Strohschein. “Sisi negatifnya adalah mereka terisolasi secara sosial di komunitas lokal mereka.”

Isolasi itu bisa saja secara betul-betul menghindar keyakinan diri sosial mereka. Pada akhirnya, ke dua generasi bisa saja bakal baik-baik saja, kekhawatiran yang tidak proporsional tidak lebih dari tanda-tanda yang tak terelakkan dari pergeseran budaya dan teknologi seismik. 

https://aplik.org/